Hasil Audit! Perusahaan Diduga Milik Bendesa Serangan, Gunakan 3,8 Miliar Dana LPD

    DENPASAR - Kasak - kusuk masyarakat Adat Desa Adat Serangan tentang tanggungjawab keuangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Serangan yang lagi bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, ditanggapi oleh I Wayan Patut selaku Kelian adat banjar Kaja (2019).

    Ia mengungkapkan bahwa pelaporan yang mereka lakukan (Juli 2020) karena menolak laporan keuangan LPD Serangan, karena diduga ada sejumlah kredit fiktif yang tertuang dalam laporan keuangan tersebut.

    "Kredit atas nama perusahaan, kita melihat ini tidak fair karena LPD untuk masyarakat Adat dan tidak ratusan juta begitu, " sergah Patut, Jumat (21/10/2022), di wilayah salah satu tokoh Desa Serangan.

    Kredit fiktif yang ada disana disebutkannya adalah adanya kredit atas nama salah satu masyarakat adat Desa Serangan itu dikalikan sampai 3 pinjaman sedangkan yang diterima orang tersebut tetap satu. Bahkan ada yang tidak melakukan pinjaman ditulis meminjam. 

    Untuk menanggapi temuan ini disarankan oleh pihak Pemerintah Denpasar untuk membentuk 'Tim Penyelamatan LPD Desa Serangan', tim ini bergerak menelusuri aset LPD yang ada sekitar 4, 8 milliar Rupiah yang terdiri dari tabungan, deposito dan aktiva tetap dan aktiva yang bergerak. Dari hitungan tersebut ditemukan pinjaman di masyarakat tidak lebih dari 800 juta Rupiah, dari sisa 3, 8 Milliar dihitung tertera nama Dream Work, Water Sport 1, Water Sport 2 sampai 3 bahkan ada pinjaman atas nama sekretaris Water Sport.

    Ditanyakan soal penggunaan dana serampangan dengan pengawasan Bendesa Adat Serangan selaku pengawas LPD Desa Adat Serangan. I Made Sedana dikonfirmasi melalui sambungan pesan elektronik hanya membaca saja pesan yang ditanyakan oleh awak media, seharusnya masyarakat desa Adat Serangan dan Bali tetap perlu penjelasan terkait hal tersebut diatas sesuai dengan UU Keterbukaan Publik, karena saat ini Bendesa Adat menerima dana dari APBN melalui APBD Bali.

    Lalu berlanjut Wayan Patut menjelaskan bahwa ada juga dugaan penggelapan yang dilakukan pihak LPD Serangan, yakni Deposito atas nama Takahara Yukio (WNA asal Jepang). 

    "Deposito Takahara Yukio bernilai 2 Milliar (November 2015), sementara ada keterangan juga Deposito atas nama yang sama sebesar 600 juta rupiah. Sedangkan tanda tangan dengan nama yang sama tersebut berbeda sekali, "jelasnya kepada awak media.

    Dalam penelusuran tim ditemukan sisa dari 1, 4 Milliar yang seharusnya menjadi hak desa Adat dipergunakan untuk kepentingan pribadi dari Bendesa Adat Serangan. 

    "Lucunya uang 600 juta deposito di berikan bunga oleh LPD, sedangkan 1, 4 Milliar itu diberikan bunga oleh Bendesa tetapi pembayarannya ditalangi (kasbon) dulu oleh LPD. Dan kami mengkroscek tidak ada kejelasan juga soal pembayaran kasbon itu, "tekannya, yang pada akhirnya dilaporkanlah hasil audit investigasi itu kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali pada tanggal 25 maret 2021.

    Menyalahgunakan kewenangan inilah menjadi ranah yang sangat urgent untuk disikapi oleh pemerintah Bali. Agar keuangan Desa Adat ini kedepannya dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat adat secara luas, bukan menguntungkan segelintir oknum pengurus / prajuru.

    Ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dibebankan oleh oknum pelaku penggelapan dan manipulasi dana warga Desa Adat Serangan ini, dikhawatirkan oleh sebagian warga masyarakat Adat Desa Serangan adalah tentang dana yang sudah tergerus untuk kepentingan pribadi oknum prajuru tersebut.

    Perjuangan ini terus kami akan dorong sampai dikatakannya juga, sudah bersurat ke Kejaksaan Agung dan mendapat balasan. Ia juga mengaku kecewa bahwa proses berjalannya pemeriksaan laporan hasil dari kejaksaan tidak pernah diterima.

    "Kami sebagai pelapor sebenarnya berhak tahu prosesnya, sampai saat ini kalo tidak kejar kami tidak diberikan informasi, mungkin mereka punya aturan mengenai itu, kami tidak tahu"

    Ia juga mengkhawatirkan siapa yang akan mengembalikan nanti uang yang 3, 7 Milliar ini nantinya.

    Dalam diskusi kecil ini dihadiri pula oleh I Nyoman Gede Priatha selaku Tokoh masyarakat Serangan, I Made Hayet selaku Mantan kelian adat banjar kawan, I Made Debil selaku Kelian Adat Banjar Kawan dan Made letra selaku
    Kelian adat banjar peken.

    I Nyoman Gede Pariatha selaku tokoh masyarakat Serangan juga ikut bersuara menanggapi. Ia menyebutkan bahwa pertanyaan dari masyarakat yang sering terlontar adalah tentang kesenjangan dalam pengelolaan dana LPD yang ada selama ini.

    "Penggunaan dana yang digunakan perseorangan ini tentu sanga berdampak sekali terhadap kesejahteraan masyarakat"

    Padahal masyarakat memohon dana 5 juta saja sebutnya harus perlu rekomendasi kelian adat dan beranggunan (jaminan), sedangkan ratusna juta bahkan miliaran tidak ada jaminan yang dipergunakan oleh oknum pengeruk dana masyarakat adat.

    Monopoli kredit yang dilakukan oknum sungguh memukul kesejahteraan warga Desa Adat Serangan. Ia juga mengatakan pihak Hukum harusnya lebih jeli melihat dampak sosial yang diakibatkan dari perbuatan ini. 

    Kekhawatiran terhadap hukum yang terjadi juga dilontarkan oleh Nyoman Priatha,  

    "Legitimasi dan Mosi tidak percaya ini seharusnya dijawab oleh pihak penegak hukum, agar masyarakat bisa jelas melihat apa yang sesungguhnya terjadi"

    Ditanyakan bantuan dari BTID soal pemukiman yang dijanjikan dalam MoU sebelumnya, dirinya pernah mendengar itu di rapat-rapat banjar (Sangkep).

    "6, 5 hektar itu untuk pemukiman masyarakat. Sudah diserahkan tetapi hak masyarakat itu dikebiri dan sudah ditanyakan, " ujarnya.

    Soal tanah hak dari masyarakat itu dikabarkan juga telah dikontrakan juga untuk villa dan lainnya.

    "Kita tidak pernah diajak dialog dan diberikan informasi mengenai itu, kelian tidak tahu kemana dana yang masuk yang menjadi hak masyarakat adat, "pungkasnya. (Ray)

    denpasar bali
    Ray

    Ray

    Artikel Sebelumnya

    PDIP Siapkan Instruksi Tertulis Untuk Kepala...

    Artikel Berikutnya

    Bendesa Serangan Mengelak Lepas Tanggung...

    Berita terkait